Ramai Tambang Nikel di Raja Ampat, Seperti Apa Kronologi dan Penyelesaiannya?

· 3 min read
dynasty4dtoto-gifoasistogel-gif
Ramai Tambang Nikel di Raja Ampat, Seperti Apa Kronologi dan Penyelesaiannya?

Ramai Tambang Nikel di Raja Ampat, Begini Kronologi dan Upaya Penyelesaiannya

Raja Ampat, Papua Barat Daya – Keindahan alam Raja Ampat yang dikenal sebagai surga bawah laut dunia tengah menghadapi ancaman serius akibat maraknya aktivitas tambang nikel. Isu ini menjadi sorotan nasional setelah berbagai pihak, mulai dari masyarakat adat hingga lembaga legislatif dan organisasi lingkungan, menyuarakan penolakan terhadap izin-izin tambang yang merambah kawasan sensitif ekologis tersebut.

Kisruh tambang nikel di Raja Ampat bermula sejak tahun 2013–2017, saat sejumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) diterbitkan oleh pemerintah di beberapa pulau kecil seperti Pulau Gag, Kawe, Manuran, dan Batang Pele. Salah satu perusahaan yang terlibat adalah PT Gag Nikel, anak usaha dari PT Antam Tbk, yang menguasai konsesi besar di Pulau Gag. Padahal, luas pulau tersebut hanya sekitar 6.500 hektare, namun hampir seluruhnya masuk ke dalam wilayah izin tambang seluas 13.000 hektare.

Seiring berjalannya waktu, aktivitas tambang mulai menunjukkan dampak serius terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat. Hutan-hutan tropis dibabat, sedimentasi dari aktivitas pertambangan menyebabkan laut menjadi keruh, dan keanekaragaman hayati—termasuk spesies laut endemik seperti kerang langka, ikan pari, hingga penyu—terancam. Masyarakat lokal yang menggantungkan hidup pada laut dan pariwisata pun mulai merasakan dampaknya.

Situasi ini memicu gelombang penolakan dari masyarakat adat, aktivis lingkungan, dan lembaga swadaya masyarakat. Koalisi termasuk Greenpeace Indonesia, Auriga Nusantara, dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menuntut penghentian operasional tambang dan pembatalan izin-izin yang dinilai merusak kawasan konservasi dan melanggar prinsip keberlanjutan.

Pada awal tahun 2025, DPR RI melalui Komisi IV turun tangan dan meminta pertanggungjawaban dari perusahaan-perusahaan tambang terkait transparansi dana tanggung jawab sosial (CSR) serta kajian lingkungan. Pemerintah pun akhirnya merespons. Pada Mei 2025, pemerintah pusat memutuskan untuk menangguhkan sementara operasi tambang di empat pulau, termasuk Pulau Gag, sambil menunggu audit Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dan peninjauan ulang izin.

Namun demikian, moratorium ini masih bersifat sementara dan belum menyentuh akar persoalan jangka panjang. Sejumlah pihak mendorong agar pulau-pulau kecil dan kawasan Raja Ampat dinyatakan sebagai zona bebas tambang secara permanen, dengan fokus pada konservasi laut dan pengembangan ekonomi berkelanjutan berbasis ekowisata.

Kasus tambang nikel di Raja Ampat menjadi pengingat penting bagi pemerintah dan publik: bahwa di tengah ambisi pengembangan industri nikel sebagai bahan baku kendaraan listrik global, keberlanjutan lingkungan dan kearifan lokal tak boleh dikorbankan. Raja Ampat bukan hanya milik Indonesia, tapi juga warisan dunia yang harus dijaga bersama.

Logo
Copyright © 2025 Tumble. All rights reserved.