Mahalnya Sertifikasi K3, Buruh: “Sakit Hati, Hak Kami Dijadikan Barang Dagangan”
Jakarta, 23 Agustus 2025 – Suara para buruh kembali menggema, kali ini bukan di jalanan, tapi dari lubuk hati yang terluka. Di tengah gempuran biaya hidup dan ketidakpastian kerja, mereka harus menghadapi kenyataan pahit: sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)—yang sejatinya menjadi perlindungan dasar mereka—justru diperjualbelikan layaknya komoditas bisnis.
“Kami sakit hati. Ini bukan cuma soal uang. Ini soal hak hidup kami yang dijadikan barang dagangan,” ujar seorang buruh pabrik logam di Bekasi yang enggan disebutkan namanya.
Kejengkelan itu bukan tanpa sebab. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini membongkar praktik pemerasan dalam pengurusan sertifikasi K3 yang melibatkan pejabat tinggi di Kementerian Ketenagakerjaan. Dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan pada 22 Agustus lalu, KPK menetapkan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer alias Noel sebagai tersangka.
Biaya resmi sertifikasi yang seharusnya hanya Rp 275 ribu, di lapangan melonjak drastis menjadi Rp 6 juta. Sebuah angka yang sangat memberatkan, terutama bagi buruh dan perusahaan kecil.
“Kami tahu kalau mau cepat dan tidak dipersulit, ya harus bayar lebih. Tapi kalau semua dipaksa begitu, sistem ini rusak,” ungkap seorang HRD dari perusahaan logistik di Jakarta Timur.
KPK menyebutkan bahwa praktik pemerasan ini telah berlangsung sejak 2019, dengan dugaan total penerimaan mencapai Rp 81 miliar. Sebagian besar dari uang tersebut ditengarai mengalir ke pejabat melalui rekening pribadi dan perantara, bahkan digunakan untuk membayar cicilan rumah dan hiburan pribadi.
Ketua KPK Setyo Budiyanto menegaskan, praktik tersebut tidak hanya merugikan negara, tetapi juga mempermainkan kepentingan buruh.
“Ini menyangkut keselamatan nyawa. Sertifikat K3 bukan formalitas administratif, tapi tanggung jawab moral dan hukum. Kalau itu diperjualbelikan, nyawa jadi taruhan,” kata Setyo dalam konferensi pers.
Dari sisi psikologis, banyak buruh merasa disia-siakan. Apa yang seharusnya menjadi pelindung di tempat kerja, justru menjadi beban tambahan. Beberapa serikat pekerja bahkan menyebut kasus ini sebagai bentuk “penghinaan terhadap martabat pekerja.”
“Bayangkan, kami diminta kerja sesuai standar keselamatan. Tapi untuk dapat sertifikatnya, kami dipalak. Bukankah itu ironi?” ujar Said Iqbal, Presiden KSPI, yang juga menyuarakan pentingnya reformasi menyeluruh dalam sistem ketenagakerjaan.
Saat ini, KPK masih mendalami aliran dana dan jaringan pelaku dalam skandal ini. Sementara itu, publik menanti langkah tegas dari Presiden dan Menteri Ketenagakerjaan untuk melakukan pembersihan total, bukan hanya menghukum individu.
Kesimpulan
Kasus ini menunjukkan bahwa di balik tumpukan dokumen sertifikasi dan jargon keselamatan, ada luka yang dirasakan buruh: hak mereka dijadikan ladang uang. Kini, saatnya negara hadir, bukan hanya dalam bentuk regulasi, tetapi dalam keberpihakan nyata terhadap para pekerja yang menjaga roda ekonomi tetap berputar.